PantiRehabilitasi Mental Jiwa Sehat is a clinic located at Tangerang Selatan, Banten and have doctors specialized in Psychiatrist, and many more.
Buatjanji temu dengan dr. Fransiska Irma Simarmata Sp.KJ dan simpan pada kalendar Google yang terhubung ke semua gadget Anda. Janji temu selanjutnya tidak akan terlewatkan. Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat. Komplek Taman Salvia, Jl. Palm Merah V, Blok BN No. 36 Panti Jiwa Sehat, Serpong, Tangerang Selatan, Banten; Bahasa
Pada2021 lalu, Sumanto pun kedapatan tengah disuntik vaksin Covid-19. Sumanto mengikuti vaksinasi massal untuk kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di panti rehabilitasi mental H Supono Mustajab, Purbalingga. Dengan mengenakan blangkon khas Purbalingga, Sumanto tidak menunjukkan rasa takut ketika menerima suntikan vaksin jenis Sinopharm.
PantiRehabilitasi Dan Klinik Kejiwaan. Sebuah Panti Rehabilitasi yang menangani penyakit kejiwaan, gangguan mental, kecanduan narkoba, penanganan anak nakal dan pasien dan menambah daftar pemasungan," kata Akmal saat memberikan sambutan di acara talkshow Pemberdayaan Orang dengan Gangguan Jiwa di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta
membantupenderita gangguan jiwa supaya kembali lebih sehat. Adanya rumah sakit jiwa, panti rehabilitasi, klinik-klinik kejiwaan adalah sebagian langkah konkrit yang dilakukan untuk menangani penderita gangguan jiwa. Dengan adanya tempat-tempat kesehatan jiwa tentu sangat membantu dalam menangai penderita gangguan jiwa supaya mampu kembali pulih.6
tznDcCJ. Pemerintah belum memberikan dukungan sistem kepada perempuan dengan gangguan jiwa. Tidak ada upaya mengurangi stigma. Tidak menyediakan tempat tinggal dan tidak mengembalikan kapasitas hukum merekaJakarta ANTARA - Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat PJS Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa pemerintah harus turun tangan dalam menangani permasalahan para perempuan dengan gangguan jiwa yang tinggal di panti-panti sosial yang tidak layak huni. "Pemerintah belum memberikan dukungan sistem kepada perempuan dengan gangguan jiwa. Tidak ada upaya mengurangi stigma. Tidak menyediakan tempat tinggal dan tidak mengembalikan kapasitas hukum mereka," katanya dalam seminar daring bertajuk "Perempuan-Perempuan Penghuni Panti Sosial" di Jakarta, Senin. Ia mengatakan kehadiran pemerintah dalam hal ini sangat penting karena para perempuan yang tinggal di panti-panti tersebut hidup dengan sangat tidak layak. "Mereka, perempuan dengan gangguan jiwa itu tinggal di suatu ruangan tertutup dengan penghuni puluhan orang dan hanya diperkenankan ke luar ruangan pada waktu makan," katanya. "Mereka tidur di bawah, dengan lantai beralas tikar dan tidak boleh ke luar ruangan selama 24 jam kecuali saat makan pagi, makan siang dan makan sore," tambahnya. Selain itu, katanya, ada juga panti yang menyediakan deretan ruangan kecil ukuran 1x2,5 meter yang dihuni satu orang per ruangan. Dalam ruangan itu ada selokan tempat penghuni bisa buang air kecil, makan dan tidur di tempat yang sama. Ia membandingkan kehidupan kaum perempuan dengan gangguan jiwa atau disabilitas mental ini dengan orang yang di penjara lantaran melakukan tindak pidana. "Yang berat bagi mereka, mereka tidak tahu kapan mereka ke luar panti. Itu lebih berat dari yang dialami tahanan atau napi," katanya. Menurut data PJS, tercatat ada 101 panti rehabilitasi mental di Indonesia yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Jumlah penghuni panti-panti tersebut mencapai orang yang 40 persen diantaranya merupakan perempuan. "Jadi sekitar perempuan hidup di panti-panti sosial ini," demikian Yeni Rosa Damayanti. Baca juga Petugas medis bebaskan seorang perempuan dari pasungan di Banyumas Baca juga Tiga orang ODGJ meninggal dunia di panti Baca juga Pemilih dengan gangguan jiwa di panti Cipayung lancar mencoblos Baca juga Panti lansia Tresna Werdha Bogor dinilai tidak layakPewarta Anita Permata DewiEditor Andi Jauhary COPYRIGHT Š ANTARA 2021
Seri ke-2 informasi dan edukasi mengenai masa jangka waktu minum obat. Kali ini pembahasan dilakukan untuk gangguan depresi. Anda dapat membacanya selengkapnya di sini. Ini adalah tulisan terbaru saya di blog pribadi saya setelah vakum menulis selama 6 tahun. Tulisan ini ditujukan untuk edukasi pada masyarakat awam terutama Orang Dengan Skizofrenia ODS mengenai jangka waktu minum obat. Anda dapat mengaksesnya di sini. Ditulis Oleh Maria Ayuningtias, Psi. Psikolog Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Ilustrasi Kasus A adalah seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang duduk di bangku kelas 1 SD. Ketika pertama kali datang pada saya, A dikeluhkan oleh orang tua, dan guru lesnya karena mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam jangka waktu yang panjang, dan mudah lupa tentang sesuatu terutama yang berkaitan dengan pelajaran. Ia juga mengalami kesulitan dalam pelajaran dikte spelling dan mengeja, serta kesulitan mengerjakan tugas di sekolah yang berkaitan dengan tulis menulis jika tidak didampingi oleh orang lain. Saat di sekolah, A kesulitan ketika menjawab pertanyaan dalam bentuk tulisan, tetapi ketanya ditanya secara lisan, ia mampu menjawab dengan benar. Hal tersebut mulai nampak ketika A berada di Taman Kanak-Kanak, dan semakin bertambah âparahâ ketika A duduk di bangku Sekolah Dasar, karena tuntutan yang lebih banyak untuk menulis. Contoh kesulitan yang dialami oleh A ⢠Ketika pelajaran dikte, A sering salah menulis. Contohnya menulis CAT kucing dalam bahasa Inggris menjadi ď ACT menulis OWL burung hantu dalam bahasa Inggris menjadi ď MOL ⢠A sering tertukar saat menulis huruf b dengan huruf d, sering salah membedakan antara q dan p, m dan w, dan sebagainya. Hasil tes IQ menunjukkan taraf intelegensi A yang berada pada taraf rata-rata atas. Dari hasil asesmen dengan orang tua , didapatkan pula data bahwa A mengalami keterlambatan berbicara sewaktu kecil. Mengenal Disleksia Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata âdysâ yang berarti kesulitan, dan kata âlexisâ yang berarti bahasa. Disleksia yang secara harafiah berarti âkesulitan dalam berbahasaâ merupakan suatu kesulitan belajar spesifik yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat, kesulitan dalam membaca, kesulitan dalam mengeja, kesulitan dalam menulis dan kesulitan dalam beberapa aspek bahasa yang lain. Seringkali ditemui, anak dengan disleksia memiliki prestasi yang buruk di sekolah, meski hasil tes IQ tes kecerdasan menunjukkan IQ rata-rata atau bahkan di atas rata-rata. Beberapa ahli menganggap disleksia baru dapat ditegakkan pada usia 6-7 tahun, ketika anak menginjak bangku Sekolah Dasar. Hal tersebut dikarenakan pada usia Taman Kanak-Kanak, orang tua mau pun guru menganggap âwajarâ ketika seorang anak sering terbalik menulis beberapa huruf, kesulitan membedakan huruf-huruf yang mirip, kesulitan menggunakan huruf besar dan kecil sesuai dengan tata cara yang benar, dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa kasus, individu dengan disleksia tidak terdeteksi hingga usia dewasa. Mengenali Tanda-tanda Awal Disleksia Disleksia sering terlupakan, atau terlambat untuk di deteksi. Bahkan seringkali orang tua atau guru menganggap anak dengan disleksia adalah anak yang malas, anak yang bermasalah, hingga diberi label âanak yang bodohâ. Beberapa tanda-tanda yang sering ditemui untuk deteksi dini disleksia Sumber Referensi Disleksia Today Genius Tomorrow 1. Adanya riwayat keluarga dekat yang juga mengalami hal yang sama 2. Mengalami keterlambatan bicara. 3. Kesulitan menemukan istilah yang tepat dalam berkomunikasi. Misalnya mengatakan kata âtebalâ untuk menjelaskan kata âdalamâ. 4. Kesulitan membedakan kiri dan kanan secara tepat. 5. Rentang konsentrasi yang singkat. 6. Daya ingat yang pendek. 7. Kesulitan memahami persoalan yang membutuhkan logika bahasa. 8. Berbicara terkadang gagap, atau tidak runtut ketika menceritakan tentang sesuatu. 9. Tertukar huruf yang mirip mirror image, angka dan huruf yang mirip. Cotoh b dengan d atau sebaliknya , p dengan q atau sebaliknya, 5 dengan z atau s, 9 dengan 6 atau sebaliknya. Dampak Keterlambatan Diagnosa atau Penanganan Disleksia Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin dini deteksi disleksia, dan semakin dini pemberian intervensinya maka prognosisnya perkembangan kedepannya akan semakin baik. Sebaliknya ketika terjadi keterlambatan penanganan disleksia, akan berdampak pada gangguan sosial mau pun gangguan emosi. Anak mau pun remaja yang âterlewatâ dari deteksi disleksia dapat menjadi individu yang kurang percaya diri karena merasa tidak pintar dibanding teman-temannya, mudah marah, dan sebagainya. Individu dengan disleksia bukan berarti tidak dapat meraih kesuksesan di kemudian hari, jika ditangani dengan tepat. Beberapa orang terkenal juga banyak yang mengalami disleksia, antara lain Lee Kuan Yew, Albert Einsten, Agatha Christie, dan masih banyak lagi. Yang harus dilakukan Sekali lagi deteksi dini sangatlah penting untuk dilakukan. Jadi jika anda, orang yang anda kenal atau anak Anda terlihat memiliki tanda-tanda yang telah dipaparkan diatas, jangan tunda lagi! Segera berkonsultasilah kepada profesional untuk membantu anda. Semoga Bermanfaat! Beberapa materi di dapatkan dari sumber referensi Disleksia Today Genius Tomorrow â Solek K dan dr. Kristiantini Dewi Ditulis oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Apa itu gangguan obsesif kompulsif? Gangguan obsesif kompulsif termasuk dalam kelompok gangguan cemas. Obsesif sendiri merupakan suatu pikiran yang sifatnya berulang-ulang, sangat sulit untuk dikendalikan dan terus-menerus muncul di dalam pikiran penderitanya. Pikiran ini dapat hanya merupakan suatu bayangan atau keinginan melakukan sesuatu atau dapat juga berupa kalimat atau kata-kata. Sementara kompulsif adalah tindakan yang dilakukan untuk meredakan kecemasan yang ditimbulkan oleh pikiran obsesif sehingga kecemasan itu dapat dikurangi. Umumnya di awal masa gangguan, pasien masih mampu menangani pikiran tersebut dan menyadari bahwa pikiran obsesif yang dialaminya bersifat tidak berdasar sehingga biasanya pikiran tersebut berusaha ditekan atau dibiarkan saja namun bila mana akhirnya kecemasan yang ditimbulkan pikiran obsesif semakin meningkat, maka disitulah biasanya muncul suatu perilaku kompulsi. Seorang pasien saya misalnya, terus-menerus menghitung tiang listrik sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Pikiran ingin menghitung tiang listrik merupakan pikiran obsesif dan ketika pasien saya kemudian mulai benar-benar menghitung maka di situ muncul perilaku kompulsif. Pasien saya yang lainnya perlu mencuci tangan hingga sekitar 20 kali atau lebih setiap melakukan sesuatu yang menurutnya dapat menyebabkan tangannya kotor dan bila mana tidak dilakukan dapat menimbulkan kecemasan luar biasa di dalam dirinya. Pikiran bahwa tangannya kotor adalah pikiran obsesif sementara perilaku mencuci tangan adalah perilaku kompulsif. Mengapa akhirnya disebut gangguan? Karena pada taraf tertentu kondisi obsesif kompulsif yang dialami akhirnya dapat menyebabkan pasien mengalami gangguan dalam kegiatannya sehari-hari baik dalam bekerja, bersekolah, ataupun bersosialisasi. Sering pasien obsesif kompulsif juga kemudian menderita depresi berkepanjangan akibat merasa stres dengan kondisi yang dialaminya. Banyaknya orang yang mengalami gangguan ini adalah sekitar 2 hingga 3 persen. Sering tertukar dengan kepribadian obsesif kompulsif. Pada pria biasanya gejala berawal di usia yang lebih muda dibandingkan pada wanita. Apa yang menyebabkan? Seperti gangguan psikiatri lainnya, faktor biopsikososial diduga menjadi penyebab timbulnya gangguan ini. Secara biologis gangguan ini diduga timbul akibat adanya sistem pengaturan neurotransmiter serotonin yang bermasalah disregulasi serotonin. Hal ini dibuktikan terutama karena nyatanya gejala obsesif kompulsif dapat dikontrol dengan baik dengan pemberian obat anti depresan golongan SSRI Selective Serotonin Reuptake Inhibitor. Selain itu terbukti bahwa pemberian obat memiliki efektivitas yang lebih unggul dibandingkan dengan metode terapi lainnya dalam mengatasi gangguan obsesif kompulsif. Faktor lain yang diduga terkait dengan gangguan ini adalah faktor genetik dan psikososial. Pada faktor psikososial, diduga berkaitan dengan pembiasaan perilaku dalam mengatasi hal-hal yang sifatnya menimbulkan kecemasan. Diduga pula merupakan suatu mekanisme pertahanan mental dalam mengatasi hal-hal yang menimbulkan kecemasan. Gejala klinis Umumnya pasien datang dengan gambaran lengkap pikiran obsesif dan perilaku kompulsif namun ada pula pasien yang hanya mengalami salah satu dari gejala pikiran obsesif atau perilaku kompulsif. Pada beberapa pasien, dapat muncul perasaan malu yang luar biasa dengan kondisinya karena pikiran-pikiran yang muncul dapat berupa pikiran âterlarangâ bagi pasien sendiri. Terapi Hingga saat ini pemberian obat antidepresan golongan SSRI masih menjadi pilihan terbaik. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan obat antipsikotik untuk mengatasi gejala. Psikoterapi berupa terapi perilaku dapat membantu terutama dalam mengendalikan stresor ataupun menurunkan rasa malu yang timbul akibat kondisi sakit yang dialami. Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat oleh psikiater kami Irma,SpKJ tahun 2013 lalu dan termuat dalam blog pribadi beliau. Kami memposting ulang tulisan beliau karena banyaknya kesalahan pemikiran mengenai obat-obat psikiatri. Untuk mengakses tulisan asli, Anda dapat mengunjunginya di sini. Oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Judul tulisan saya kali ini merupakan pertanyaan yang kerap kali saya dapatkan di dalam ruangan praktek psikiatri, baik dahulu ketika saya masih menjalani pendidikan sebagai calon spesialis kedokteran jiwa ataupun saat ini ketika saya sudah berpraktek sebagai seorang psikiater. Meskipun saya tidak terlalu pasti berapa persisnya jumlah pasien atau keluarganya yang bertanya namun mengingat sangat seringnya hal ini ditanyakan maka saya memperkirakan lebih dari 70 persen pasien saya ataupun keluarganya menanyakan pertanyaan seputar obat psikiatri yang konon dianggap sebagai obat penenang. Pertanyaan ini sering ditanyakan sehingga tentu ada alasannya, dibalik pertanyaan pasien atau keluarganya saya sering melihat adanya kecemasan dan kekhawatiran yang timbul akibat mitos seputar âobat penenangâ yang beredar kuat di dalam masyarakat. Kepercayaan bahwa pergi ke dokter psikiater berarti pasti akan mendapat âobat penenangâ nampaknya sangat kuat berakar dalam masyarakat Indonesia. Ketika saya memikirkan sebetulnya dari mana kepercayaan ini muncul, saya kemudian mulai melihat potongan-potongan memori dari berbagai film ataupun cerita fiksi yang beredar di masyarakat yang menggambarkan seseorang yang berteriak histeris dan kemudian mendapatkan suntikan âobat penenangâ oleh psikiater atau juga adegan yang umumnya ditemukan, ketika berdialog dengan psikiater maka kalimat yang muncul kemudian adalah ânanti saya berikan obat penenangâ. Ketika saya membaca berita baik itu di koran ataupun sekedar iseng browsing membaca berbagai halaman internet maupun blog, mayoritas keyword psikiater kemudian berpasangan dengan obat penenang. Budaya pop memang sangat luar biasa dalam mempengaruhi cara pandang masyarakat di jaman modern ini. Artikel ini saya tuliskan untuk memberikan edukasi pada masyarakat awam sekaligus meluruskan salah kaprah mengenai obat-obat psikiatri karena salah kaprah ini pula yang menyebabkan pasien enggan datang mencari pertolongan meskipun sebenarnya membutuhkannya. Ketakutan cukup besar pada pasien maupun pada keluarganya untuk mencari pertolongan pada psikiater adalah kemungkinan akan kecanduan âobat penenangâ. Ataupun kemungkinan menjadi pengguna âobat penenangâ seumur hidup dengan mengunjungi psikiater. Pertanyaan Apakah obat-obat psikiatri adalah obat penenang? Jawaban Ada sebagian obat psikiatri yang memang memberi efek menenangkan. Misalnya obat-obat golongan benzodiazepin yang memang berfungsi sebagai obat anti cemas/panik sehingga ketika serangan cemas/panik muncul dan pasien meminum obat anti cemas, serangan mereda dan pasien merasa tenang. Ada pula golongan obat-obat anti psikotik yang umumnya diberikan pada pasien yang mengalami gaduh gelisah. Yang di maksud dengan kondisi gaduh gelisah adalah kondisi di mana seorang pasien mengamuk, bersikap mengancam, atau menunjukan tanda-tanda kekerasan. Dengan mendapatkan terapi obat antipsikotik, umumnya kondisi ini dapat diatasi dalam pengertian pasien tidak lagi mengamuk, bersikap mengancam, atau mengalami gaduh gelisah. Obat anti psikotik sendiri selain digunakan sebagai obat untuk mengatasi kondisi tersebut, juga digunakan pada pengobatan skizofrenia dan beberapa gangguan psikiatrik lainnya. Obat-obat golongan lainnya yang juga digunakan dalam mengatasi gangguan psikiatrik adalah obat-obat anti depresan, psikostimulan, anti konvulsan, mood stabilizer, dan anti kolinergik di mana masing-masing obat digunakan sesuai dengan indikasi diagnosis yang ditegakan dan tidak menyebabkan tenang seperti yang dimaksudkan dalam pengertian obat penenang. Pertanyaan Apakah semua obat psikiatri menyebabkan tidur atau mengantuk? Jawaban Ini merupakan pernyataan kedua yang paling banyak menyangkut mitos âobat penenangâ itu tadi. Pasien saya umumnya menyatakan âDokter nanti kalau saya minum obatnya.. Saya nanti tidur terus dan mengantuk.â Tidak semua obat psikiatri menyebabkan mengantuk, ada sebagian obat yang justru sebaiknya tidak diminum pada malam hari karena dapat menyebabkan sulit tidur. Ada pula obat-obat yang tidak berpengaruh sama sekali pada pola tidur. Sebagian obat psikiatri yang menyebabkan mengantuk pun, umumnya tidak lagi memberikan efek mengantuk setelah tubuh terbiasa. Pertanyaan Apakah semua obat psikiatri harus diminum seumur hidup? Jawaban Lama minum obat bervariasi pada kasus-kasus psikiatri tergantung diagnosis pasien. Pada beberapa diagnosis, obat hanya diminum selama diperlukan sama seperti obat-obat pada penyakit fisik. Pada jenis lainnya, obat diminum untuk jangka waktu tertentu sebelum akhirnya dapat dihentikan. Namun memang ada pula pasien yang perlu minum obat hampir sepanjang waktu, misalnya karena terjadi kekambuhan relaps berulang dalam jangka waktu yang tergolong dekat, misalnya pada orang dengan skizofrenia atau penderita gangguan bipolar yang relaps terus-menerus. Pertanyaan Sebetulnya bagaimana cara obat-obat psikiatri bekerja? Jawaban Hampir semua obat-obat psikiatri bekerja dengan memanipulasi berbagai neurotransmiter di sistem saraf pusat otak. Otak adalah organ yang terdiri dari berjuta-juta sel saraf. Otak mampu melakukan fungsinya dengan baik bila sel-sel otak bekerja dengan baik pula. Kondisi ini tercapai bila terdapat komunikasi yang benar antar sel-sel saraf. Neurotransmiter adalah zat yang diperlukan dalam mengatur komunikasi antar sel saraf. Neurotransmiter di otak banyak sekali jenisnya, misalnya dopamin, serotonin, GABA, norepinefrin, epinefrin, dan lain sebagainya. Tiap neurotransmiter memiliki fungsinya tersendiri dan memengaruhi otak dalam cara-cara yang berbeda sehingga menghasilkan emosi, perilaku, cara berpikir, bertindak yang berbeda pada seseorang. Setiap gangguan psikiatri umumnya terkait dengan sistem neurotransmiter yang berbeda, misalnya gangguan sistem dopamin pada skizofrenia dan psikotik lainnya, gangguan sistem serotonin pada depresi dan gangguan mood lainnya, dan lain sebagainya. Obat-obat psikiatri akan memperbaiki sistem neurotransmiter sehingga sistem tersebut menjadi stabil kembali dan akhirnya memperbaiki emosi, perilaku, cara berpikir, dan bertindak seseorang. Pertanyaan Apakah obat-obat psikiatri menyebabkan kecanduan? Jawaban Dalam bahasa medis, kecanduan disebut dengan adiksi. Memang betul terdapat golongan obat psikiatri yang berpotensi untuk menimbulkan adiksi, misalnya golongan benzodiazepin yang digunakan sebagai obat anti ansietas namun bila digunakan dengan benar dan dalam pengawasan dokter umumnya kondisi adiksi dapat dicegah. Adiksi obat/zat ditandai dengan ⢠keinginan kuat untuk selalu menggunakan suatu zat/obat tersebut ⢠tidak mampu mengontrol perilakunya untuk tidak menggunakan zat/obat tersebut ⢠timbul gejala putus zat bila zat/obat dikurangi dosisnya/tidak digunakan lagi ⢠terdapat toleransi di dalam tubuh yaitu keadaan di mana kadar obat/zat harus terus-menerus dinaikan bila ingin mencapai efek yang sama ⢠pikiran terus-menerus untuk menggunakan zat/obat tersebut ⢠tetap ângototâ menggunakan zat/obat meski tahu adanya risiko yang membahayakan dari zat tersebut Bila dilihat dari kriteria adiksi tersebut, hampir semua obat-obat psikiatri tidak menyebabkan kondisi yang tersebut di atas sehingga tidak dapat dikatakan menyebabkan kecanduan. Jadi jangan lah takut untuk pergi ke psikiater bila mana memerlukannya. Tanyakan dengan jelas pada dokter Anda apa fungsi, indikasi, dan hal-hal lain yang ingin diketahui mengenai terapi obat yang diberikan. Semoga informasi ini cukup mencerahkan bagi yang membaca artikel ini. Catatan Bila mana ada pertanyaan lain yang Anda ingin tanyakan soal penggunaan obat psikiatri, Anda dapat mengirimkan langsung pertanyaan Anda ke email kami Kami akan meneruskan pada dokter kami dan memberikan jawabannya di artikel ini. Ditulis oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Tulisan ini saya buat setelah mendapatkan pertanyaan di wall facebook Kelompok Peduli Skizofrenia Indonesia KPSI mengenai kondisi adanya gejala depresi yang terjadi setelah suatu episode gejala skizofrenia yang nyata mereda. Diceritakan bahwa pasien dengan skizofrenia baru pulang rawat inap dari rumah sakit namun kemudian menunjukan gejala waham nihilistik yang menonjol. Apa itu Depresi Pasca Skizofrenia? Depresi paca skizofrenia adalah kondisi munculnya gejala depresi pada penderita skizofrenia. Diagnosis baru dapat ditegakan bila 1. Gejala skizofrenia telah berlangsung sekurangnya 12 bulan lamanya dan memenuhi kriteria diagnostik untuk salah satu jenis skizofrenia. 2. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada tetapi gejala-gejala sudah berkurang sehingga tidak lagi nampak menonjol ditemui pada pasien. 3. Gejala-gejala depresi menonjol dan mengganggu serta harus memenuhi suatu kriteria episode depresi dan telah berlangsung dalam kurun waktu sekurangnya 2 minggu. Kriteria diagnostik ini merupakan kriteria yang termuat dalam PPDGJ III Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa yaitu kumpulan kriteria diagnostik berbagai gangguan kejiwaan yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia PDSKJI yang diadaptasi dari ICD-10 yaitu klasifikasi diagnosis menurut WHO. Jadi berdasarkan klasifikasi diagnostik tersebut, seorang dengan kondisi depresi pasca skizofrenia akan menunjukan gejala-gejala depresi yang menonjol sementara gejala skizofrenianya sendiri sudah tidak lagi menonjol. Gejala tersebut muncul setelah atau pada masa berlangsungnya suatu episode skizofrenia yang jelas sebelumnya. Pentingnya mengenali depresi pasca skizofrenia Penting baik bagi orang dengan skizofrenia ODS ataupun care giver ODS untuk mengenali gejala depresi pada penderita skizofrenia. Dalam berbagai penelitian gejala-gejala depresi ini sering menjadi penyebab bunuh diri pada penderita skizofrenia bila tidak ditangani dengan benar. Bila mana gejala-gejala depresi muncul, segeralah kembali berkonsultasi dengan dokter psikiater. Terapi yang diberikan umumnya merupakan kombinasi terapi dengan obat dan non obat, seperti misalnya psikoterapi. Semoga artikel ini menambah pengetahuan para pembaca. Ditulis oleh Maria Ayuningtias, Psikolog. Psikolog Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Beberapa tahun belakangan, autisme menjadi salah satu âtrending topicâ gangguan perkembangan pada anak. Padahal selain autisme, masih terdapat berbagai macam gangguan perkembangan yang lainnya. Salah satu gangguan perkembangan yang cukup sering ditemui dalam pengalaman praktek psikologi saya, adalah ADHD. Mengenal ADHD ADHD adalah suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan pemusatan perhatian dan / atau tingkah laku yang hiperaktif. ADHD merupakan kepanjangan dari Attention Deficit / Hyperactivity Disorder atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai GPPH Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas. Menurut data, ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Seringkali terjadi, anak dengan ADHD salah diberi diagnosa yang lain, mau pun di âlabelâ sebagai anak yang nakal dan tidak dapat diatur. Padahal hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman orang tua, mau pun pengajar tentang gejala-gejala ADHD. Semakin cepat gangguan ADHD di deteksi, dan mendapatkan penanganan maka harapannya prognosisnya perkembangan ke depannya menjadi semakin baik. Diharapkan orang tua yang melihat atau mencurigai adanya gejala-gejala ADHD pada anaknya, dapat segera mengkonsultasikannya kepada tenaga profesional psikolog, psikiater, mau pun dokter anak. Jangan sampai menunda-nunda waktu, dan mengabaikan gejala-gejala yang ada. Diagnosa ADHD sendiri idealnya tidak hanya ditegakkan oleh tenaga profesional dari satu bidang ilmu tertentu misalnya hanya psikolog atau psikiater atau dokter anak, namun diperlukan pendekatan multi disiplin untuk memberikan diagnosa ADHD atau pun gangguan perkembangan yang lain. Penyebab ADHD Hingga saat ini, penyebab dari ADHD belum diketahui secara pasti. Namun beberapa ahli percaya bahwa ADHD dibebabkan karena kondisi medis atau gangguan perkembangan neurologis yang disebabkan karena ketidakseimbangan kimiawi di otak. Selain itu beberapa ahli juga mengatakan kemungkinan ADHD disebabkan oleh gangguan pada masa kehamilan, ibu yang merokok atau mengkonsumsi alkohol di masa kehamilan,atau ibu yang mengalami stress akut saat masa kehamilan. Gejala utama dari ADHD a. Inattention kesulitan memusatkan perhatian , yang antara lain ditandai dengan ⢠Kegagalan dalam memberikan perhatian, kegagalan dalam bekerja secara detil, mau pun seringkali melakukan kecerobohan. ⢠Kesulitan menjaga konsentrasi dalam menerima tugas atau melakukan suatu aktivitas ⢠Sering terlihat tidak mendengarkan jika berbicara dengan orang lain. ⢠Kesulitan mengatur tugas dan kegiatan tertentu. ⢠Cenderung menghindar, tidak senang mau pun enggan mengerjakan tugas yang membutuhkan suatu usaha. ⢠Sering kehilangan sesuatu. ⢠Mudah teralihkan perhatiannya. ⢠Sering melupakan tugas sehari-hari. b. Hiperaktivitas, yang antara lain ditandai dengan ⢠Sering tampak menggerakkan tangan, kaki, dan menggeliat di tempat duduk ⢠Seringkali meninggalkan tempat duduk pada situasi yang mengharuskannya tetap duduk. ⢠Sering berlari atau memanjat. ⢠Mengalami kesulitan bermain atau kesulitan mengisi waktu luang dengan tenang. ⢠Berperilaku seolah digerakkan oleh âmotorâ ⢠Berbicara secara berlebihan. c. Impulsivitas ⢠Melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. ⢠Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai diucapkan ⢠Mengalami kesulitan dalam menunggu giliran. ⢠Menyela atau memaksakan sesuatu kepada orang lain. ADHD dapat dikategorikan menjadi tiga tipe Tipe I Tipe kesulitan konsentrasi Predominately Inattentive Tipe II Tipe hiperaktif â impulsif Predominantly Hyperactive â Impulsive Type Tipe III Tipe kombinasi Combined Type Penanganan untuk gangguan ADHD Diperlukan pendekatan multi disiplin untuk menangani ADHD, antara lain dengan a. Edukasi bagi orang tua, dan pengajar Edukasi menjadi hal yang pertama kali harus dilakukan ketika anak di diagnosa ADHD, agar para orang tua dan pengajar memiliki informasi yang tepat mengenai ADHD, dan penanganan yang harus dilakukan. b. Terapi Farmakologi Penggunaan obat-obatan yang sesuai untuk bidang ini, kiranya lebih tepat psikiater atau dokter anak yang membantu menjelaskannya. Terkadang terapi farmakologi digunakan terlebih dahulu agar anak lebih siap untuk mendapatkan terapi perilaku. c. Terapi Perilaku Terapi perilaku menyasar pada perubahan pola perilaku anak yang negatif menjadi perilaku positif, dan membantu anak agar lebih mampu mengendalikan reaksi berlebihan, reaksi emosional, dan sebagainya. d. Pendekatan Psikososial Pendekatan psikososial dapat berupa pelatihan ketrampilan sosial bagi anak ADHD dengan tujuan antara lain, agar anak dapat memahami norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat serta berperilaku sesuai dengan norma yang ada. Penanganan yang dipaparkan diatas tidak dapat berdiri sendiri. Tidak ada satu jenis penanganan yang paling baik dibandingkan dengan penanganan lainnya, namun hendaknya penanganan tersebut harus saling melengkapi satu sama lain. Mungkinkan ADHD terjadi pada orang dewasa? Sangat mungkin. Beberapa penelitian juga mengatakan, ADHD dapat bersifat genetik, yang artinya bahwa ADHD dapat diturunkan meski pun tidak selalu dari orang tua kepada anaknya. Dalam pengalaman praktek saya, sering saya temui bahwa orang dewasa dengan ADHD tidak menyadari bahwa mereka terkena ADHD. Bahkan beberapa orang dewasa baru menyadari dirinya juga mengalami ADHD, setelah anaknya di diagnosa ADHD. ADHD pada orang dewasa seringkali menyebabkan individu tersebut mengalami kesulitan dalam bekerja atau membangun relasi dengan orang lain. Gejala ADHD pada orang dewasa menyerupai gejala ADHD pada anak-anak, antara lain kesulitan untuk berkonsentrasi dalam waktu yang panjang, mudah terpancing emosinya temperamental, tidak sabar, kesulitan mengorganisir dan menyelesaikan tugas. Jadi jika anda, orang yang anda kenal atau anak anda terlihat memiliki gejala-gejala yang telah dipaparkan diatas, jangan tunda lagi! Segera berkonsultasilah kepada profesional untuk membantu anda. Ditulis oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia kesehatan telah meningkatkan angka harapan hidup rata-rata di seluruh dunia. Jumlah penduduk lansia meningkat dengan tajam dalam beberapa dekade terakhir. Masalah yang kerap ditemui pada penduduk lansia adalah kepikunan. Pikun adalah bahasa awam untuk mengistilahkan kondisi mudah lupa. Kondisi ini dapat merupakan bagian dari demensia yaitu penurunan daya kerja otak akibat matinya sel-sel saraf otak. Di tahun 2010, demensia diidap oleh lebih dari 35,6 juta penduduk lansia dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam jangka waktu 20 tahun menjadi 65,7 juta orang di tahun 2030. Problema pada penderita demensia bukan hanya masalah mudah lupa saja namun juga timbulnya perubahan emosi dan perilaku yang sering menyertainya. Perubahan emosi dan perilaku yang sering tampak misalnya depresi, mudah marah, galak dan mudah memukul, apatis, nampak diam tak mau beraktivitas, tidak mau merawat diri, mengulang-ulang hal yang sudah dikatakan, bicara melantur/âberbohongâ/asal jawab ketika ditanya, tidak mau dan tak mampu merawat diri, jam tidur bangun yang tak sesuai orang normal, takut ditinggal, menjadi tak tahu malu, tak dapat menahan keinginannya, berteriak-teriak, berhalusinasi, curiga dengan orang lain, dan lain sebagainya. Perubahan emosi dan perilaku ini dikenal dengan istilah medis BPSD Behavioral and Psychological Symptoms of Dementia. BPSD sering kali merupakan sumber stres utama dan terberat bagi keluarga yang merawat penderita. Keluarga penderita demensia sering tidak mengetahui bahwa perubahan perilaku dan emosi yang timbul merupakan bagian demensia yang dialami pasien. Keluarga kemudian dapat memberikan respon yang salah atau salah bersikap karena ketidaktahuan tersebut. Ketika BPSD yang dialami pasien sudah berat, umumnya keluarga berespon dengan memasukan pasien ke rumah sakit atau mencari pengasuh pengganti yang dapat menemani pasien sehingga memberikan beban ekonomi tambahan bagi keluarga. Selain itu kualitas hidup pasien dan keluarga yang didera stres berkepanjangan juga dengan sendirinya menurun. Banyak sekali keluarga yang anggotanya menunjukan gejala-gejala depresi akibat harus merawat penderita demensia yang memiliki gejala-gejala BPSD. Penderita demensia perlu untuk dibawa ke dokter untuk memastikan bahwa memang yang dialami adalah demensia. Banyak kondisi yang dapat menyerupai gejala demensia dan tugas dokter memastikan bahwa gejala-gejala yang ada memang disebabkan oleh demensia dan bukan karena disebabkan oleh kondisi lainnya. Bila gejala yang ada disebabkan oleh sakit lainnya, dokter dapat langsung memberikan tatalaksana yang tepat dan sesuai. Diagnosis dini dapat membantu keluarga dalam menyusun rencana ke depannya, bagaimana keluarga bersikap, cara merawat pasien dengan benar, dan juga yang penting bagaimana menurunkan stres dalam keluarga sendiri. Hal ini dapat dikonsultasikan pada dokter psikiater. Hingga saat ini belum terdapat obat yang dapat menyembuhkan demensia namun sebetulnya gejala-gejala yang menyertai demensia seperti BPSD sebagian dapat dikontrol dengan terapi menggunakan obat-obatan klinis sekaligus dikombinasikan dengan terapi tanpa obat-obatan misalnya dengan melakukan konseling dan psikoterapi secara teratur terhadap keluarga yang merawat sehingga kadar stres dapat dikurangi dan pada akhirnya hal ini akan membantu membentuk sikap keluarga yang positif terhadap penderita. Ditulis oleh Irma,SpKJ Psikiater Klinik Jiwa dan Panti Rehabilitasi Mental Jiwa Sehat Ilustrasi kasus klinis adalah seorang bapak berusia pertengahan 30-an. Ia datang berkonsultasi ke psikiater atas anjuran dari salah seorang rekannya. Saat datang untuk pertama kalinya, terlihat bahwa mimik wajahnya murung dan nampak tidak bersemangat. Ketika dilakukan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik, suaranya pelan, gerak-geriknya minimal, dan ia sering menanyakan ulang pertanyaan yang ditanyakan oleh psikiater pemeriksa. Tn. A menceritakan bahwa ia sudah merasa sedih berkepanjangan di mana hampir tak ada satu haripun ia merasa bahagia selama 1 bulan terakhir dan aktivitasnya terbatas di dalam rumah saja. Satu bulan lalu ternyata ia baru saja di PHK dari pekerjaannya. Rasa sedihnya disertai dengan penurunan berat badan yang nyata sekitar 3-4 kg karena hilangnya nafsu makan, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sulit untuk jatuh tidur atau kalau pun bisa ia mudah sekali terbangun dari tidurnya. Setelah beberapa saat kemudian, bercerita bahwa perasaan sedihnya bertambah parah semenjak dua minggu terakhir, ia menjadi mudah menangis tanpa sebab-sebab yang jelas dan ia merasa pesimis dengan masa depannya serta keluarganya. Akhir-akhir ini, ia berpikir bahwa hidupnya tidak berharga dan lebih baik ia mati saja. Semenjak di PHK juga tidak pernah lagi mencoba mencari pekerjaan baru karena merasa putus asa dengan hidupnya selain itu saat ini dia menjadi menarik diri dari pergaulan padahal dahulu ia dikenal sebagai orang yang aktif dalam kegiatan RT di lingkungannya. Rasa sedihnya menjadi bertambah parah karena mulai kebingungan akan pembiayaan hidupnya sehari-hari beserta keluarganya. Gejala-gejala yang dialami oleh di atas merupakan bagian dari gangguan depresi mayor dan contoh kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus yang ekstrim. Gangguan ini termasuk dalam kelompok gangguan jiwa dan merupakan salah satu jenis gangguan afektif gangguan terkait suasana perasaan. Di Amerika Serikat, depresi saat ini merupakan penyebab disabilitas terbesar. Sedangkan menurut WHO, di seluruh dunia pada tahun 2020, diperkirakan bahwa depresi akan menjadi penyebab disabilitas terbesar nomor dua. Gangguan ini sering kali tidak terdeteksi dengan benar dan akibatnya tidak mendapat tatalaksana yang benar pula. Depresi yang tidak diterapi dengan benar akan menyebabkan penderitaan serta disabilitas terutama dalam bidang sosial dan pekerjaan. Oleh sebab itu dapat dibayangkan tingkat keparahan dampaknya bagi suatu negara baik secara ekonomis dan non-ekonomis baik pada masa kini maupun pada masa depan. Hal yang harus diperhatikan pada gangguan depresi mayor adalah seringnya kondisi ini disertai dengan ide-ide ataupun percobaan bunuh diri. Rata-rata angka kematian akibat bunuh diri pada pasien dengan gangguan depresi mayor adalah sekitar 15%. Gangguan depresi mayor merupakan faktor penyebab pada setidaknya setengah kasus percobaan bunuh diri di Amerika Serikat dan bahkan di dunia. Terdapat fakta-fakta yang menyebutkan peningkatan angka bunuh diri terutama pada golongan manula. Penyebab dan Faktor Resiko Sampai saat ini mekanisme munculnya depresi sebetulnya belum diketahui secara cukup jelas. Namun dari penelitian lanjutan diketahui bahwa gangguan ini terkait dengan interaksi multifaktor hingga bisa bermanifestasi secara klinis. Pada seorang penderita depresi, umumnya ditemui gangguan pengaturan sistem hormonal di otak yang dikenal sebagai neurotransmitter. Neurotransmitter yang bermasalah berasal dari kelompok neurotransmitter mono amin yaitu serotonin, dopamin, dan nor epinefrin. Beberapa penyakit klinis juga diketahui dapat memicu munculnya depresi. Selain itu, umumnya didapatkan adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga pada pasien penderita depresi. Depresi dapat muncul dengan stresor yang jelas ataupun tidak. Stresor adalah faktor pemicu munculnya gangguan jiwa, umumnya berupa suatu peristiwa yang membekas secara psikologis pada penderita. Terdapat beberapa faktor yang memperbesar resiko munculnya gangguan depresi mayor pada seseorang, di antaranya berjenis kelamin wanita, kulit putih dan berwarna orang kulit hitam lebih jarang terkena, wanita yang single atau bercerai. Usia rata-rata penderita depresi mayor umumnya berkisar antara 20 hingga 50 tahun namun tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak, remaja, dan manula untuk dapat menderita gangguan ini. Pada anak-anak tidak didapati perbedaan yang mencolok antara anak laki-laki dan perempuan yang menderita depresi. Pada manula, keluhan fisik dan gangguan fungsi kognitif lebih menonjol dibandingkan suasana perasaan yang depresif sehingga perlu untuk lebih diwaspadai. Gambaran Klinis Kriteria diagnostik klinis gangguan depresi mayor menurut DSM IV-TR Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition, text revision adalah adanya suatu keadaan mood yang terdepresi baik yang dirasakan sendiri atau yang diamati oleh orang lain dan menghilangnya atau berkurangnya minat dan kesenangan pada hampir semua aktivitas yang dikerjakan. Kedua kondisi tersebut berlangsung hampir setiap hari selama sekurangnya dua minggu berturut-turut. Kedua kondisi tersebut diikuti dengan sekurangnya 3 dari kondisi berikut yang juga berlangsung selama sekurangnya dua minggu berturut-turut dan nyaris berlangsung tiap hari berat badan secara dratis walaupun tidak sedang diet atau bertambahnya berat badan secara signifikan kenaikan berat badan lebih dari 50% dalam satu bulan akibat penurunan atau peningkatan nafsu makan. sulit tidur atau hipersomnia tidur berlebihan. mengamuk atau retardasi psikomotor malas bergerak. lesu atau hilang tenaga. tidak berharga atau adanya rasa bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kondisinya. kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi dan ketidakmampuan untuk memutuskan sesuatu. pikiran berulang mengenai kematian, atau pikiran berulang mengenai ide-ide bunuh diri tanpa rencana yang spesifik, atau percobaaan bunuh diri, atau rencana bunuh diri yang spesifik. Gejala-gejala tersebut harus menyebabkan suatu penderitaan atau gangguan fungsi yang signifikan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau bidang lain yang penting dalam fungsi hidup sehari-hari. Gejala yang muncul juga bukan akibat langsung dari penggunaaan zat contoh penggunaan obat dalam jangka waktu lama atau kondisi medis tertentu contohhipotiroid. Gejala yang muncul juga bukan reaksi yang muncul akibat suatu reaksi berduka akibat kehilangan orang yang dicintai. Anjuran Penanganan Saat ini penatalaksanaan yang dilakukan untuk gangguan depresi mayor meliputi penanganan dengan farmakologi obat-obatan dan non farmakologi. Penanganan secara farmakologi dilakukan dengan pemberian obat-obat anti depresan sedangkan penanganan secara non farmokologis meliputi pemberian psikoterapi dan ECT. Hasil terbaik umumnya diperoleh dengan terapi kombinasi antara pemberian obat-obatan dengan psikoterapi. Penanganan terhadap gangguan depresi mayor yang sukses dapat dicapai dengan follow-up yang baik paska meredanya episode akut dari gangguan ini. Gangguan depresi mayor yang tidak diterapi dengan benar memiliki tingkat kemungkinan kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-60% kasus dari episode tunggal bisa mengalami pengulangan di masa depan, sekitar 70% yang sudah mengalami kekambuhan ke-2 kali dapat mengalami kekambuhan lagi bila tidak diterapi, dan sekitar 90% yang sudah mengalami kekambuhan ke-3 kalinya dapat mengalami kekambuhan berikutnya. Dapat kita lihat bahwa kemungkinan kekambuhan semakin meningkat seiring dengan semakin seringnya seseorang mengalami gangguan ini. Seringkali walaupun gejala-gejala sudah mereda, terapi tetap akan dipertahankan selama sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun untuk mencegah terjadinya kekambuhan gejala. Kekambuhan gejala dapat dicegah hingga 70-80% dengan terapi yang benar. Oleh sebab itu jika Anda atau keluarga Anda mengalami gejala-gejala gangguan depresi mayor, segeralah berkonsultasi dengan psikiater terdekat untuk mendapatkan penanganan yang tepat secepatnya. Posting ini merupakan pindahan pertanyaan konsultasi yang diajukan pada psikiater kami Irma,SpKJ di blog beliau Diharapkan pembaca mendapat manfaat pengetahuan dari tanya jawab berikut. nana March 8, 2014 at 233 pm Dok, umur saya 29 tahun, pekerjaan saya adalah costumer service merangkap admin yang sering berhubungan dengan pelanggan. Pekerjaan saya mengharusnya saya harus melayani pelanggan dengan baik, menjawab pertanyaan dari pelanggan secara tuntas atau bahkan ngobrol diluar pekerjaan. Sudah 2 bulan terakhir ini saya selalu gugup, berkeringat, speechless, khawatir, deg-degan dan muka memerah ketika berbicara dengan orang lain, apalagi ketika berbicara dengan posisi berhadap-hadapan. Ketika proses ngobrol tersebut , saya selalu ketakutan dan berpikiran bahwa jangan-jangan muka saya nanti akan merah, dan itu terbukti. Ketika ada client datang, maka saya dada saya selalu berdebar, khawatir, dada panas dan endinganya muka memerah. Kekhwatiran tersebut saya bawa sampai rumah dan lingkungan sekitar. Ketika janjian dengan seseorang untuk ketemu pun saya sudah khawatir jika nantinya ketika ngobrol muka saya akan memerah. Dengan keadaan ini, saya merasa terganggu dan tidak nyaman. Saya pikir hal ini akan sembuh dengan sendiri dan hany sesaat terjadi di diri saya, tapi ternyata sudah lebih dari 2 bulan dan tidak kunjung sembuh. pertanyaan saya Dok 1. Apakah saya mengalami gangguan kejiwaan? jika iya, tergolong serius atau tidak? 2. Untuk gangguan tersebut, sebaiknya saya datang ke psikolog atau psikiater? 3. Jika saya datang ke psikolog atau psikiater, apakah saya akan ditanya macam-macam yang bersifat pribadi? Terimakasih sebelumnya dok Jawab Fransiska Irma April 14, 2014 at 245 pm Dear Nana, Mohon maaf, saya sudah lama tidak mampir ke blog ini. Seperti yang saya umumkan sebelumnya, semua pertanyaan tanya jawab kesehatan jiwa sebaiknya ditanyakan di blog Nur Asa Medika. Meskipun jawaban ini cukup terlambat, namun saya harap Nana dan pembaca lainnya dapat memperoleh informasi dari jawaban saya berikut. Sebelum menjawab pertanyaan Nana, ada baiknya saya terangkan sedikit mengenai apa yang terjadi pada tubuh ketika kita mengalami tekanan secara psikologis, mulai dari derajat ringan sampai berat. Tekanan psikologis atau yang dikenal sebagai stresor akan muncul dalam bentuk pikiran di otak kita. Pikiran ini kemudian akan dipersepsi sebagai stres oleh otak, dan kemudian terjadi perubahan di dalam otak yang memicu pengeluaran hormon-hormon stres dalam tubuh selengkapnya dapat dibaca di artikel yang saya tulis mengenai stres di sini. Hormon stres tersebut juga akan mempengaruhi pembesaran dan pengecilan pembuluh darah, disamping juga mempengaruhi denyut jantung, kelenjar keringat, dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan wajah Nana menjadi merah. Jadi mengapa wajah Nana menjadi merah? Sumbernya adalah perasaan kecemasan yang melanda Nana yang menyebabkan perubahan sistem kimia di otak dan hormonal di tubuh. 1. Dari cerita Nana, saya mendapat gambaran bahwa Nana mengalami suatu kecemasan ketika berhadapan dengan orang lain. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kondisi yang dikenal sebagai fobia sosial. Apakah termasuk dalam gangguan kejiwaan? Jawabannya Ya, bila mana hal ini sampai menyebabkan gangguan dalam fungsi pekerjaan maupun fungsi sosial misal orang jadi berhenti kerja atau tidak mau bertemu orang lain. Namun fobia dapat dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan yang ringan sehingga dengan terapi yang tepat dan benar, seharusnya fobia tersebut dapat dikontrol sampai dapat dihilangkan sepenuhnya. 2. Untuk fobia, Nana dapat memilih untuk datang ke psikiater ataupun psikolog yang menguasai psikoterapi berjenis Cognitive Behavioral Therapy. Saya kira dalam kasus yang dialami Nana, tidak perlu dilakukan pengobatan dengan obat namun dengan psikoterapi saja sudah cukup. Dalam sesi CBT akan dilakukan berbagai teknik dan modifikasi perilaku yang nantinya diharapkan dapat membantu Nana untuk kembali dapat aktif dalam pekerjaan yang Nana lakukan. 3. Sesi konsultasi dengan psikiater biasanya pertama akan menyoroti kondisi yang Nana alami. Umumnya yang pertama ditanyakan adalah bagaimana gejala ini bermulai, adakah kemungkinan penyakit fisik yang menyebabkan kondisi ini, adakah kemungkinan kondisi ini timbul karena penggunaan suatu zat tertentu dsb. Umumnya dokter psikiater kemudian akan menilai berat ringannya gejala yang dialami, kemudian mempertimbangkan apakah terapi yang diberikan dapat dengan psikoterapi saja ataukah memerlukan bantuan obat tertentu. Mohon maaf saya tidak dapat memberikan gambaran terapi yang dilakukan teman-teman psikolog, karena tidak pernah mengikuti sesi terapi dengan psikolog namun sepanjang pengetahuan saya, umumnya teman-teman psikologi akan juga melakukan ekzplorasi terhadap kondisi yang Nana alami. Sekian jawaban dari saya. Semoga membantu. Salam,
panti rehabilitasi mental dan klinik jiwa sehat